ALQUDS DI HATI

Monday, March 14, 2011

DEFINISI RUQYAH



Definisi Ruqyah :



Makna ruqyah secara terminologi adalah al-‘udzah (sebuah perlindungan) yang
digunakan untuk melindungi orang yang terkena penyakit, seperti panas karena
disengat binatang, kesurupan, dan yang lainnya. (Lihat An-Nihayah fi Gharibil
Hadits karya Ibnul Atsir rahimahullahu 3/254)



Secara terminologi, ruqyah terkadang disebut pula dengan ‘azimah. Al-Fairuz
Abadi berkata: “Yang dimaksud ‘azimah-‘azimah adalah ruqyah-ruqyah.
Sedangkan ruqyah yaitu ayat-ayat Al-Qur`an yang dibacakan terhadap orang-orang
yang terkena berbagai penyakit dengan mengharap kesembuhan.”
(Lihat
Al-Qamus Al-Muhith pada materi عزم).



Adapun makna ruqyah secara etimologi syariat adalah doa dan bacaan-bacaan yang
mengandung permintaan tolong dan perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
untuk mencegah atau mengangkat bala/penyakit. Terkadang doa atau bacaan itu
disertai dengan sebuah tiupan dari mulut ke kedua telapak tangan atau anggota
tubuh orang yang meruqyah atau yang diruqyah. (Lihat transkrip ceramah
Asy-Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alus-Syaikh yang berjudul Ar-Ruqa wa
Ahkamuha oleh Salim Al-Jaza`iri, hal. 4)

Tentunya ruqyah yang paling utama adalah doa dan bacaan yang bersumber dari
Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Ibid, hal. 5)



Merunut sejarahnya, ruqyah merupakan salah satu metode pengobatan yang cukup
tua di muka bumi ini. Dengan datangnya Islam, metode ini kemudian disesuaikan
dengan nafas dan tata cara yang sesuai syariat.



Ada akibat tentu
dengan sebab. Yang demikian merupakan ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
berlaku di jagad raya ini. Memang ini tidak mutlak terjadi pada seluruh
perkara. Namun mayoritas urusan makhluk tak lepas dari hukum sebab dan akibat.
Hukum ini merupakan hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lengkap dengan
kebaikan. Makhluk mana pun tak bisa menggapai keinginannya kecuali dengan hukum
sebab dan akibat. Di alam nyata ini, tak ada sebab yang sempurna dan bisa
melahirkan akibat dengan sendirinya kecuali kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.





Kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan sebab bagi segala sebab. Kehendak
Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kekuatan yang selalu menuntut (memunculkan)
akibat. Tak satu sebab pun bisa melahirkan akibat dengan sendirinya, melainkan
harus disertai sebab yang lain yaitu kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah
Subhanahu wa Ta’ala menetapkan pada sebagian sebab, hal-hal yang dapat
menggagalkan akibatnya. Adapun kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak
membutuhkan sebab yang lain kecuali kehendak-Nya itu sendiri.

Tak ada sebab apapun yang dapat melawan dan membatalkannya. Namun terkadang
Allah Subhanahu wa Ta’ala membatalkan hukum kehendak-Nya dengan kehendak-Nya
(yang lain). Dialah yang menghendaki sesuatu lalu menghendaki lawan yang bisa
mencegah terjadinya. Inilah sebab mengapa seorang hamba wajib memasrahkan
dirinya, takut, berharap, dan berkeinginan hanya ditujukan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala saja. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengucapkan dalam doanya:





اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرَضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ،
وَبِمَعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ



“Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung dengan ridha-Mu dari murka-Mu, dengan
pemeliharaan-Mu dari siksa-Mu. Dan aku berlindung dengan-Mu dari-Mu.” (HR.
Muslim dan Abu Dawud).





وَلاَ مَنْجَى مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ



“Tak ada tempat
selamat dari Dzat-Mu kecuali kepada Dzat-Mu.” (HR. Muslim).



Di antara sekian
akibat yang membutuhkan sebab adalah kesembuhan. Kesembuhan datang dengan sebab
berobat. Namun, apakah setiap orang yang berobat pasti sembuh? Jawabannya tentu
tidak. Karena kesembuhan itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan
dari obat atau orang yang mengobati. Obat akan manjur dan mengantarkan kepada
kesembuhan bila Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Karena itu, seorang yang
berobat tidak boleh menyandarkan dirinya kecuali hanya kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala, bukan kepada obat dan orang yang mengobati.





Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memaparkan perihal berobat
dalam beberapa haditsnya. Di antaranya:



1. Dari Jabir bin
‘Abdullah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:





لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ،
فَإِذَا أَصَابَ الدَّوَاءُ
الدَّاءَ،
بَرَأَ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ



“Setiap penyakit pasti
memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh
dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim).





2. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:





مَا أَنْزَلَ اللهُ
مِنْ دَاءٍ إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ
شِفَاءً



“Tidaklah Allah
menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim).





3. Dari Usamah bin
Syarik radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau berkata:





كُنْتُ عِنْدَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ،
وَجَاءَتِ اْلأَعْرَابُ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَنَتَدَاوَى؟
فَقَالَ: نَعَمْ يَا عِبَادَ
اللهِ، تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ
يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ
دَاءٍ وَاحِدٍ. قَالُوا: مَا هُوَ؟

قَالَ: الْهَرَمُ



"Aku pernah berada di samping Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah serombongan Arab dusun. Mereka
bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Iya,
wahai para hamba Allah, berobatlah. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah
meletakkan sebuah penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu
penyakit.” Mereka bertanya: “Penyakit apa itu?” Beliau menjawab: “Penyakit
tua.”

(HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan
At-Tirmidzi, beliau berkata bahwa hadits ini hasan shahih)
.



4. Dari Ibnu Mas’ud
radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:





إِنَّ اللهَ لَمْ
يَنْزِلْ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ
شِفَاءً،
عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ



“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
tidaklah menurunkan sebuah penyakit melainkan menurunkan pula obatnya. Obat itu
diketahui oleh orang yang bisa mengetahuinya dan tidak diketahui oleh orang
yang tidak bisa mengetahuinya.”

(HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, beliau menshahihkannya dan disepakati
oleh Adz-Dzahabi. Al-Bushiri menshahihkan hadits ini dalam Zawa`id-nya. Lihat
takhrij Al-Arnauth atas Zadul Ma’ad, 4/12-13)
.



Dalam berobat, banyak
cara yang bisa ditempuh asalkan tidak melanggar syariat Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Namun para ulama berbeda pendapat tentang hukum berobat dan
meninggalkannya. Tentunya perselisihan mereka berangkat dari perbedaan dalam
memahami dalil-dalil yang ada dalam permasalahan ini. Terdapat tiga pendapat di
kalangan para ulama dalam menentukan hukum berobat:



·
Pertama, menurut sebagian ulama bahwa berobat diperbolehkan,
namun yang lebih utama tidak berobat. Ini merupakan madzhab yang masyhur dari
Al-Imam Ahmad rahimahullahu.



·
Kedua, menurut sebagian ulama bahwa berobat adalah perkara yang
disunnahkan. Ini merupakan pendapat para ulama pengikut madzhab Asy-Syafi’i
rahimahullahu. Bahkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam kitabnya Syarh
Shahih Muslim menisbahkan pendapat ini kepada madzhab mayoritas para ulama
terdahulu dan belakangan. Pendapat ini pula yang dipilih oleh Abul Muzhaffar.
Beliau berkata: “Menurut madzhab Abu Hanifah, berobat adalah perkara yang
sangat ditekankan. Hukumnya hampir mendekati wajib.”



·
Ketiga, menurut sebagian ulama bahwa berobat dan meninggalkannya
sama saja, tidak ada yang lebih utama. Ini merupakan madzhab Al-Imam Malik
rahimahullahu. Beliau berkata: “Berobat adalah perkara yang tidak mengapa.
Demikian pula meninggalkannya.” (Lihat Fathul Majid, hal. 88-89)



Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu memiliki metode yang cukup baik dalam
mempertemukan beberapa pendapat di atas. Beliau merinci hukum berobat menjadi beberapa
keadaan, sebagai berikut:



1.
Bila diketahui atau diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat
dan meninggalkannya akan berakibat kebinasaan, maka hukumnya wajib.



2.
Bila diduga kuat bahwa berobat sangat bermanfaat, namun
meninggalkannya tidak berakibat kebinasaan yang pasti, maka melakukannya lebih
utama.



3.
Bila dengan berobat diperkirakan kadar kemungkinan antara
kesembuhan dan kebinasaannya sama, maka meninggalkannya lebih utama agar dia
tidak melemparkan dirinya dalam kehancuran tanpa disadari. (Lihat Asy-Syarhul
Mumti’, 2/437).



Secara garis besar,
berobat merupakan perkara yang disyariatkan selama tidak menggunakan sesuatu
yang haram. Hal ini sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sabdanya:





إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ
الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ
لِكُلِّ
دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ



“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit
dan obatnya, demikian pula Allah menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya.
Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud
dari Abud Darda` radhiallahu ‘anhu).



Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu berkata:





نَهَى رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنِ
الدَّوَاءِ الْخَبِيْثِ



“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang dari obat yang buruk (haram).” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu
Majah. Asy-Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih Ibnu Majah, 2/255)
[Lihat kitab Ahkam Ar-Ruqa wa At-Tama`im karya Dr. Fahd As-Suhaimi, hal. 21)



Di antara cara pengobatan
yang disyariatkan adalah melakukan ruqyah. Akhir-akhir ini, pengobatan dengan
ruqyah memang marak diperbincangkan dan dipraktekkan di tengah kaum muslimin
negeri ini. Padahal sebelumnya pengobatan dengan ruqyah tidak banyak diketahui
oleh mereka. Namun sayangnya, sebagian kelompok menjadikan ruqyah sebagai arena
untuk mengundang simpati publik demi kepentingan yang bernuansa politik. Mereka
beramai-ramai membuka ruqyah center di berbagai tempat guna memenuhi kebutuhan
massa yang ‘haus’ akan pengobatan ruqyah. Namun sudahkah praktek ruqyah itu
mencocoki tuntunan syariat Islam? Pertanyaan ini harus dijawab dengan ilmu yang
benar, bukan dengan semangat belaka.





Oleh karena itu perlu pembekalan ilmu yang dapat mengenalkan kaum muslimin
kepada ruqyah syar’i yang tepat sesuai dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Sehingga
mereka terhindar dari praktek-praktek ruqyah yang salah kaprah bahkan
bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karena itu, marilah kita simak
beberapa pembahasan berikut ini.



No comments:

Post a Comment